Jika
Cita – cita terbesarku adalah bisa menjadi kakakku sendiri, dengan semua hal yang dimiliki, dengan semua mimpi yang telah ia raih sampai sejauh ini.
Vivi adalah sosok luar biasa bagi keluarga kami, dengan semangat dan kerja
kerasnya,dia pun telah menyelesaikan kuliahnya di Belanda berkat beasiswa yang
dia dapatkan semenjak sekolah dulu.
Aku ingat betul pesan kak Vivi dulu
sebelum dia meninggalkan kota Jakarta, untuk dinasnya di kota Pekanbaru itu. Dia menyarankan aku untuk
terus belajar demi cita-citaku. Aku cuma bisa tersenyum jika ingat itu. Kapan
pula kak Vivi bisa hadir di tengah-tengah keluarga ini, bercanda tawa menikmati
teh hangat dan biskuit coklat kesukaannya.
“Dan, mau sampai kapan kamu berada di depan laptop
kakakmu itu?” tanya ibu sambil membuka pintu kamar kak Vivi.
“Sebentar
bu,,tanggung!” jawabku.
“Zidane kasihan
kakakmu itu,dia butuh istirahat..”
“Baiklah bu,,” aku pun
menuruti permintaan ibu untuk turun dari kamar kak Vivi.
Satu per satu anak tangga itu ku
langkahi,di meja makan ayah dan ibu pun sudah menungguku untuk sekedar makan
malam bersama. Momentum yang juga biasa kami lakukan dengan Kak Vivi. Di meja
makan ini hanya terdengar bunyi sendok dan garpu yang melompat-lompat tanpa ada
suara lain yang menyertai, sangat hening.
“Kenapa kamu diam
Dan???” tanya ayah.
Kami bertiga hanya saling bertatapan sesekali sesendok nasi ku suapkan
kemulutku secara perlahan.
“Perasaan hanya
pertanyaan itu deh yang keluar dari mulut ayah setiap hari !! Aku muak dengan
semua rutinitas yang tidak biasa kita lakukan ini bu, yah !!”
“Zidane,kamu bisa
sopan sedikit ga di hadapan orangtuamu ini!!!” marah ayah sambil berdiri dan
menunjuk-nunjuk aku di hadapan ibu.
Ku lihat ibu hanya
bisa diam dan menitikan air mata akan semua yang terjadi di meja makan itu,
“Maaf bu, yah aku udah
kenyang !!!”
Aku pun beranjak dari meja makan dan bergegas ke kamar tidurku. Ku rebahkan
badanku di kasur, kulihat langit-langit atap ini,sepertinya suram. Aku pun
beranjak dan membuka jendela kamarku, angin itu seperti ingin membawaku
pergi,dingin sekali. Aku jadi teringat kembali kak Vivi. Aku pun kembali
berlari keluar dan langsung menuju kearah kamar kak Vivi.
Benar pula
dugaanku,kak Vivi kembali menangis sendirian di kamarnya. Ku angkat dia dari
lantai, kulentangkan dia di kasur bermotif ikan lumba-lumba,gambar kesukaannya.
Aku tak tega melihat kondisinya. Sesekali dia berteriak kencang,lalu diam
kembali. Sesekali dia bergumam dalam alam bawah sadarnya lalu tertawa kembali.
Ku peluk erat dia,sebagaimana dulu ketika aku kecil dia selalu memelukku saat
aku di ejek-ejek oleh teman-temanku yang nakal. Ketika keadaannya sudah
tenang,dia sudah mulai terlelap dari tidurnya, ku selimuti dia, ku biarkan dia
memeluk boneka lumba-lumbanya juga.
“Tuhan, jaga dia dalam
tidurnya..
Tuhan, biarkan dia
besok tersadar dari mimpi buruknya ini..” doaku ini untuk engkau wahai kakakku.
***
Pagi ini masih
mendung, masih belum terasa hangatnya mentari di pagi ini.
“Pagi
semuaaaaaaaa.........” suara lantang itu begitu keras terdengar dari arah
tangga.
“Kak Vivi ?!!!!”
heranku.
“Lho kenapa kalian
bengong begitu melihat aku??? Ayah,ibu , Zidane?? Hallooo??” tanya Kak Vivi.
“Oh,,engga kok! Yuk kita sarapan sama-sama!!”
jawaban ibu yang terbata-bata membalas ucapan Kak Vivi.
Mungkin kedengarannya
aneh bagi orang yang belum pernah melihat seutuhnya kakakku,dia itu sehat dan
bugar namun sakit.
Semenjak kepergiannya 2 tahun lalu ke Pekanbaru untuk tugas dinasnya
menjadi Dokter disana, hidupnya menjadi suram. Perkenalannya dengan seorang
pria disana malah membuat dia terpuruk. Kondisi yang jauh dari pikiran orang
normal pada umumnya. Dia adalah wanita cerdas namun kalah karena cinta. Cinta
pertamanya dengan laki-laki itu membuat dia tidak sadar akan dirinya sendiri.
Karirnya mendadak hancur karena perasaannya.
Ketika itu,Hasan
laki-laki yang dia cintai itu mengajak kakakku untuk menikah,di usia yang sudah
cukup matang yaitu 28 tahun. Semua hal-hal yang indah itu sudah dia canangkan
dalam memo kerjanya, di tulis pula dalam blog pribadinya. Kekagumannya akan
sosok Hasan itu, pria yang awalnya ramah, manis, baik hati dan romantis,
tifikal kakakku sendiri. Namun hubungan mereka tak berlangsung lama, wajah
cantik kakakku, karirnya dia yang melesat itu tidak menjadikan Hasan menjadi
setia dan serius dengan kakakku. Dia malah mempermainkan kakakku. Dia telah
menyia-nyiakan kakakku, dia menikah dengan perempuan lain yang telah hamil di
luar nikah dan membuat kak Vivi depresi berat. Depresi yang kadang membuat aku
sebagai laki-laki ini pun ikut menangis melihat kondisi Kak Vivi.
Walau memang kondisinya tak sepenuhnya dalam posisi
depresi, kadang Kak Vivi kembali dalam kondisi normalnya namun tak berlangsung
lama. Dia kembali pada kondisinya itu,menjerit jerit menangis sekencang-kencangnya,bahkan
tertawa terbahak-bahak.
“Zidane..kakak anterin
ke kampus yuk!!” ajak Kak Vivi.
“Ehmmm kayaknya ga
perlu deh kak..aku pergi naik motor aja!!”
“Iya Vi.. lagian adik
kamu itu bukan anak kecil lagi kan, dia bisa jaga dirinya sendiri.” Jawab ayah
memotong pembicaraan kami berdua.
“Iya kok
kak,,mendingan kakak di rumah aja,temenin ibu ya,,”
“Tapi Zidane,,meskipun
kamu udah segede ini,kamu tetep aja kakak anggap anak TK yang manja kalo di
ganggu sama anak lain, makanya kakak pengen jagain kamu.” Balas kak Vivi sambil
mengusap kepalaku.
Kami hanya bisa
tersenyum dengan celotehan kak Vivi ini, celotehan yang mungkin tak lama lagi
akan berubah kembali. “Kak,sekarang bukan kakak lagi yang bakal jagain aku,
melainkan aku yang akan menjaga kakak. Tak
akan ku biarkan seorangpun menyakiti kak Vivi lagi!” Gumamku.
Sepanjang hari ini tak
ada yang berubah, tak ada yang aneh,senyum kakakku pagi tadi membuat aku
percaya akan hari ini. Mungkin sore ini adalah sore untuk kami berdua di rumah,
karena ayah dan ibu untuk 3 hari kedepan akan berada di Batu, Malang untuk
mendatangi salah satu pengobatan alternatif yang sudah bisa menangani kasus seperti
kakakku ini, sekaligus pula untuk menjenguk Oma Mirna, ibu tiri ayah.
Setibanya aku di rumah, aku mulai khawatir dengan keberadaan Kak Vivi,..
“Kak..Kak Vivi..aku
bawa martabak telor nih??!! Kakak pasti
suka ..”
Beberapa kali aku panggil tak ada balasan suara apapun,hatiku mulai gelisah
dengan kak Vivi. Namun yang kulihat hanyalah selembar kertas,bertulis tangan
kak Vivi.
“Zidane, kakak pergi
dulu..kakak mau ke stasiun nyusul mamah” aku pun terkejut melihat isi surat
ini. Tak menunggu lama lagi,aku langsung berusaha menyusul Kak Vivi.
Dengan kecepatan 80 km/ jam ku gas motor matic ini,tak berusaha pula ku lihat
sepanjang jalan kanan dan kiriku. Tujuanku hanyalah stasiun kereta, tempat
dimana Kak Vivi akan pergi.
Namun tiba-tiba
handphoneku bergetar,sebetulnya sengaja ku silent agar aku bisa fokus di jalan
raya. Kurasa handphone yang ada saku jaket sebelah kananku ini tak berhenti
bergetar. Akhirnya ku menepi sejenak di trotoar gersang itu. Ada 4 panggilan
tak terjawab dari nomor asing. Ku telpon balik nomor itu,
“Apa benar ini saudara
Zidane?”
“Iya betul,bapak siapa
ya?”
“Saya dari rumah sakit
Sejahtera,mau mengabarkan kalo kakak anda sekarang dalam kondisi kritis di
rumah sakit ini dan saya tahu nomor anda dari handphone yang di genggam kakak
Anda.
Bersambung...CerBerku...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Input dari kawan-kawan terbaikku