Sabtu, 05 Januari 2013

Jika


    
 Jika

 Cita – cita terbesarku adalah bisa menjadi kakakku sendiri, dengan semua hal yang dimiliki, dengan semua mimpi yang telah ia raih sampai sejauh ini.
Vivi adalah sosok luar biasa bagi keluarga kami, dengan semangat dan kerja kerasnya,dia pun telah menyelesaikan kuliahnya di Belanda berkat beasiswa yang dia dapatkan semenjak sekolah dulu.
Aku ingat  betul pesan kak Vivi dulu sebelum dia meninggalkan kota Jakarta, untuk dinasnya di kota  Pekanbaru itu. Dia menyarankan aku untuk terus belajar demi cita-citaku. Aku cuma bisa tersenyum jika ingat itu. Kapan pula kak Vivi bisa hadir di tengah-tengah keluarga ini, bercanda tawa menikmati teh hangat dan biskuit coklat kesukaannya.
“Dan, mau sampai kapan kamu berada di depan laptop kakakmu itu?” tanya ibu sambil membuka pintu kamar kak Vivi.
                “Sebentar bu,,tanggung!” jawabku.
                “Zidane kasihan kakakmu itu,dia butuh istirahat..”
                “Baiklah bu,,” aku pun menuruti permintaan ibu untuk turun dari kamar kak Vivi.
 Satu per satu anak tangga itu ku langkahi,di meja makan ayah dan ibu pun sudah menungguku untuk sekedar makan malam bersama. Momentum yang juga biasa kami lakukan dengan Kak Vivi. Di meja makan ini hanya terdengar bunyi sendok dan garpu yang melompat-lompat tanpa ada suara lain yang menyertai, sangat hening.
                “Kenapa kamu diam Dan???” tanya ayah.
Kami bertiga hanya saling bertatapan sesekali sesendok nasi ku suapkan kemulutku secara perlahan.
                “Perasaan hanya pertanyaan itu deh yang keluar dari mulut ayah setiap hari !! Aku muak dengan semua rutinitas yang tidak biasa kita lakukan ini bu, yah !!”
                “Zidane,kamu bisa sopan sedikit ga di hadapan orangtuamu ini!!!” marah ayah sambil berdiri dan menunjuk-nunjuk aku di hadapan ibu.
                Ku lihat ibu hanya bisa diam dan menitikan air mata akan semua yang terjadi di meja makan itu,
                “Maaf bu, yah aku udah kenyang !!!”
Aku pun beranjak dari meja makan dan bergegas ke kamar tidurku. Ku rebahkan badanku di kasur, kulihat langit-langit atap ini,sepertinya suram. Aku pun beranjak dan membuka jendela kamarku, angin itu seperti ingin membawaku pergi,dingin sekali. Aku jadi teringat kembali kak Vivi. Aku pun kembali berlari keluar dan langsung menuju kearah kamar kak Vivi.
                Benar pula dugaanku,kak Vivi kembali menangis sendirian di kamarnya. Ku angkat dia dari lantai, kulentangkan dia di kasur bermotif ikan lumba-lumba,gambar kesukaannya. Aku tak tega melihat kondisinya. Sesekali dia berteriak kencang,lalu diam kembali. Sesekali dia bergumam dalam alam bawah sadarnya lalu tertawa kembali. Ku peluk erat dia,sebagaimana dulu ketika aku kecil dia selalu memelukku saat aku di ejek-ejek oleh teman-temanku yang nakal. Ketika keadaannya sudah tenang,dia sudah mulai terlelap dari tidurnya, ku selimuti dia, ku biarkan dia memeluk boneka lumba-lumbanya juga.
                “Tuhan, jaga dia dalam tidurnya..
                Tuhan, biarkan dia besok tersadar dari mimpi buruknya ini..” doaku ini untuk engkau wahai kakakku.

***
                Pagi ini masih mendung, masih belum terasa hangatnya mentari di pagi ini.
                “Pagi semuaaaaaaaa.........” suara lantang itu begitu keras terdengar dari arah tangga.
                “Kak Vivi ?!!!!” heranku.
                “Lho kenapa kalian bengong begitu melihat aku??? Ayah,ibu , Zidane?? Hallooo??” tanya Kak Vivi.
“Oh,,engga kok! Yuk kita sarapan sama-sama!!” jawaban ibu yang terbata-bata membalas ucapan Kak Vivi.
                Mungkin kedengarannya aneh bagi orang yang belum pernah melihat seutuhnya kakakku,dia itu sehat dan bugar namun sakit.
Semenjak kepergiannya 2 tahun lalu ke Pekanbaru untuk tugas dinasnya menjadi Dokter disana, hidupnya menjadi suram. Perkenalannya dengan seorang pria disana malah membuat dia terpuruk. Kondisi yang jauh dari pikiran orang normal pada umumnya. Dia adalah wanita cerdas namun kalah karena cinta. Cinta pertamanya dengan laki-laki itu membuat dia tidak sadar akan dirinya sendiri. Karirnya mendadak hancur karena perasaannya.
                Ketika itu,Hasan laki-laki yang dia cintai itu mengajak kakakku untuk menikah,di usia yang sudah cukup matang yaitu 28 tahun. Semua hal-hal yang indah itu sudah dia canangkan dalam memo kerjanya, di tulis pula dalam blog pribadinya. Kekagumannya akan sosok Hasan itu, pria yang awalnya ramah, manis, baik hati dan romantis, tifikal kakakku sendiri. Namun hubungan mereka tak berlangsung lama, wajah cantik kakakku, karirnya dia yang melesat itu tidak menjadikan Hasan menjadi setia dan serius dengan kakakku. Dia malah mempermainkan kakakku. Dia telah menyia-nyiakan kakakku, dia menikah dengan perempuan lain yang telah hamil di luar nikah dan membuat kak Vivi depresi berat. Depresi yang kadang membuat aku sebagai laki-laki ini pun ikut menangis melihat kondisi Kak Vivi.
                Walau  memang kondisinya tak sepenuhnya dalam posisi depresi, kadang Kak Vivi kembali dalam kondisi normalnya namun tak berlangsung lama. Dia kembali pada kondisinya itu,menjerit jerit menangis sekencang-kencangnya,bahkan tertawa terbahak-bahak.
                “Zidane..kakak anterin ke kampus yuk!!” ajak Kak Vivi.
                “Ehmmm kayaknya ga perlu deh kak..aku pergi naik motor aja!!”
                “Iya Vi.. lagian adik kamu itu bukan anak kecil lagi kan, dia bisa jaga dirinya sendiri.” Jawab ayah memotong pembicaraan kami berdua.
                “Iya kok kak,,mendingan kakak di rumah aja,temenin ibu ya,,”
                “Tapi Zidane,,meskipun kamu udah segede ini,kamu tetep aja kakak anggap anak TK yang manja kalo di ganggu sama anak lain, makanya kakak pengen jagain kamu.” Balas kak Vivi sambil mengusap kepalaku.
                Kami hanya bisa tersenyum dengan celotehan kak Vivi ini, celotehan yang mungkin tak lama lagi akan berubah kembali. “Kak,sekarang bukan kakak lagi yang bakal jagain aku, melainkan aku yang akan menjaga  kakak. Tak akan ku biarkan seorangpun menyakiti kak Vivi lagi!” Gumamku.
                Sepanjang hari ini tak ada yang berubah, tak ada yang aneh,senyum kakakku pagi tadi membuat aku percaya akan hari ini. Mungkin sore ini adalah sore untuk kami berdua di rumah, karena ayah dan ibu untuk 3 hari kedepan akan berada di Batu, Malang untuk mendatangi salah satu pengobatan alternatif yang sudah bisa menangani kasus seperti kakakku ini, sekaligus pula untuk menjenguk Oma Mirna, ibu tiri ayah.
Setibanya aku di rumah, aku mulai khawatir dengan keberadaan Kak Vivi,..
                “Kak..Kak Vivi..aku bawa martabak telor nih??!!  Kakak pasti suka ..”
Beberapa kali aku panggil tak ada balasan suara apapun,hatiku mulai gelisah dengan kak Vivi. Namun yang kulihat hanyalah selembar kertas,bertulis tangan kak Vivi.
                “Zidane, kakak pergi dulu..kakak mau ke stasiun nyusul mamah” aku pun terkejut melihat isi surat ini. Tak menunggu lama lagi,aku langsung berusaha menyusul Kak Vivi.
Dengan kecepatan 80 km/ jam ku gas motor matic ini,tak berusaha pula ku lihat sepanjang jalan kanan dan kiriku. Tujuanku hanyalah stasiun kereta, tempat dimana Kak Vivi akan pergi.
                Namun tiba-tiba handphoneku bergetar,sebetulnya sengaja ku silent agar aku bisa fokus di jalan raya. Kurasa handphone yang ada saku jaket sebelah kananku ini tak berhenti bergetar. Akhirnya ku menepi sejenak di trotoar gersang itu. Ada 4 panggilan tak terjawab dari nomor asing. Ku telpon balik nomor itu,
                “Apa benar ini saudara Zidane?”
                “Iya betul,bapak siapa ya?”
                “Saya dari rumah sakit Sejahtera,mau mengabarkan kalo kakak anda sekarang dalam kondisi kritis di rumah sakit ini dan saya tahu nomor anda dari handphone yang di genggam kakak Anda.

Bersambung...CerBerku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Input dari kawan-kawan terbaikku